MENGENANG PERISTIWA BERDARAH G30S/PKI DAN KISAH 10 PAHLAWAN REVOLUSI INDONESIA
1. Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani
2. Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto
Berikutnya ada Letnan Jenderal R. Suprapto Lahir 20 Juni 1920, Purwokerto, Jawa Tengah. Semasa hidupnya, ia selalu berdekatan dengan maut, mulai dari menjadi tawanan tentara Jepang hingga ikut angkat senjata di Ambarawa untuk melawan Sekutu. Ia selalu berhasil selamat dari usahanya mempertahankan Tanah Air. Namun tak ada yang menyangka bahwa ternyata ia harus mati di tangan orang-orang yang dibelanya, saudara setanah-airnya sendiri pada 30 September 1965. Suprapto yang sedang tidur dijemput dari rumahnya oleh pasukan bernama Cakrabirawa. Mereka mengaku bahwa ia dipanggil oleh Presiden Soekarno. Namun ia menghilang sejak saat itu. Ia baru ditemukan lagi pada 3 Oktober 1965 dengan kondisi sudah tak bernyawa di dalam Lubang Buaya. Suprapto diduga mati karena sebelas peluru yang bersarang di tubuhnya.
3. Letnan Jenderal TNI Anumerta M.T. Haryono
Mas Tirtodarmo Haryono Lahir 20 Januari 1924, Surabaya, Jawa Timur adalah seorang letnan jenderal Angkatan Darat. Ia adalah salah satu perwira tinggi TNI yang dibawa ke Lubang Buaya dalam kondisi telah meninggal dunia. M.T. Haryono menjadi korban kekejaman PKI dalam usia yang tergolong masih muda, yaitu 41 tahun. Sama seperti Suprapto, ia dijemput paksa oleh pasukan Cakrabirawa pada 30 September 1965 selepas tengah malam dengan dalih dipanggil oleh Soekarno. Ia sempat menyuruh istri dan anak-anaknya untuk segera pergi. Saat hendak merebut senjata salah satu penculiknya, ia justru ditembak hingga mati di dalam kamarnya sendiri. Jasad Haryono pun dibawa dengan truk menuju ke Lubang Buaya.
4. Letnan Jenderal TNI Anumerta S. Parman
Berikutnya ada Letnan Jenderal Siswodo Parman atau yang dikenal dengan nama S. Parman Lahir 4 Agustus 1918, Wonosobo, Jawa Tengah. Ia sempat menjalani sekolah kedokteran namun akhirnya terjun di bidang militer. Tugas besar yang pernah diembannya adalah menghentikan pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Salah satu peran S. Parman di Angkatan Darat adalah menjadi sosok intelijen yang dekat dengan PKI. Terlebih lagi kakaknya, Ir. Sakirman adalah salah satu politbiro atau petinggi PKI. Jadi bisa dibilang bahwa ia tahu banyak informasi tentang rahasia dan rencana kelompok tersebut. Namun ternyata ia tak luput menjadi sasaran penculikan pada 1 Oktober 1965. Sekitar pukul 04.00 WIB, kediamannya dikepung oleh pasukan Cakrabirawa. Ia kemudian ditembak mati dan tubuhnya dibuang di Lubang Buaya. Mirisnya, diduga sang kakaklah otak dari penculikan dan pembantaian terhadap S. Parman.
5. Mayor Jenderal TNI Anumerta D.I. Pandjaitan
Mayor Jenderal Donald Isaac Pandjaitan Lahir 9 Juni 1925, Balige, Sumatera Utara, juga termasuk dalam sasaran penculikan dan pembantaian. Diduga, hal ini terjadi karena D.I. Pandjaitan berhasil menggagalkan penyelundupan senjata dari Tiongkok yang dilakukan oleh PKI. Pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 04.30 WIB, pasukan PKI menerobos masuk ke kediaman Pandjaitan. Mereka juga menembaki rumahnya secara bertubi-tubi. "Cepat turun jenderal!" sahut para penculik. Mendengar suara tembakan dan kegaduhan tersebut, Pandjaitan berusaha mengambil senjatanya namun sayang pistolnya macet. Ia pun memutuskan untuk menemui pasukan PKI dengan damai. Pandjaitan adalah sosok yang religius, ia berdoa sejenak sambil berhadapan dengan PKI. Namun saat itu juga, kepalanya dipukul hingga ia tersungkur dan akhirnya peluru ditembakkan ke arah tubuh sang jenderal. D.I Pandjaitan, bersama dengan Ahmad Yani dan M.T. Haryono adalah tiga perwira yang dibawa ke Lubang Buaya dalam keadaan telah meninggal dunia.
6. Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo
Berikutnya ada Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, Lahir 28 Agustus 1922, Kebumen, Jawa Tengah, Seperti kawan-kawannya, ia disergap oleh pasukan Cakrabirawa dini hari pada 1 Oktober 1965 di kediamannya. Puluhan orang itu menerobos masuk, menghancurkan semua barang yang ada di rumah Sutoyo sambil berteriak-teriak. Sutoyo pun memilih untuk tidak melawan agar keonaran yang dilakukan tidak semakin menjadi. Ia pun dibawa oleh pasukan yang mengaku sebagai Pengawal Presiden Soekarno tersebut. Keluarga yang ditinggalkan panik dan bingung karena tidak tahu sang kepala keluarga itu dibawa ke mana. Namun akhirnya pada tanggal 3 Oktober 1965, berita buruk itu datang. Sutoyo Siswomiharjo yang merupakan jaksa utama militer pada saat itu, ditemukan bersama enam orang lainnya dalam kondisi meninggal dunia di Lubang Buaya.
7. Kapten TNI Anumerta Pierre Tendean
Pierre Andreas Tendean Lahir 21 Februari 1939, Batavia, merupakan perwira TNI yang merupakan keturunan Prancis. Walaupun masih sangat muda, yaitu 26 tahun, ia sudah memiliki banyak pengalaman. Salah satunya adalah terlibat dalam penumpasan PRRI/Permesta. Saat itu, Pierre Tendean masih menjabat sebagai ajudan dari Jenderal Abdul Haris Nasution. Maka tak heran jika pada 1 Oktober 1965, ia berada di kediaman jenderal sasaran PKI tersebut. Dini hari, saat Tendean sedang tertidur di kamar belakang rumah dinas Jenderal Nasution, pasukan Cakrabirawa datang menyergap. Mereka menembak rumah secara bertubi-tubi dan membuat kegaduhan. Ia bersiap-siap mengisi pistol dan mendatangi pasukan tersebut. Sayangnya, Pierre Tendean dihadang banyak orang bersenapan. Pasukan Cakrabirawa mengira bahwa dirinya adalah Nasution sehingga mereka membawa Pierre Tendean. Sementara sang jenderal berhasil melarikan diri dengan melompati pagar belakang. Sesampainya di Lubang Buaya, Pierre Tendean pun ditembak mati bersama para jenderal lain seperti Sutoyo, S. Parman, dan Suprapto. Ia meninggalkan ibu, keluarga, dan perempuan yang akan menjadi istrinya dua bulan setelah kepergiannya.
8. AIPDA Anumerta Karel Satsuit Tubun
Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuit Tubun atau KS Tubun Lahir 14 Oktober 1928, Rumadian, Maluku, adalah salah satu korban kekejaman PKI. Ia adalah satu-satunya perwira yang menjadi korban kekejaman PKI yang bukan merupakan anggota TNI. Pada saat itu, KS Tubun sedang berjaga di rumah Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena. Pasukan Cakrabirawa yang hendak ke rumah Jenderal A.H. Nasution ingin melumpuhkan pasukan yang menjaga Leimena. Sebab rumah keduanya berdekatan. KS Tubun pun langsung menghadapi mereka dengan senjata yang masih melekat di bajunya. Namun sayangnya, satu lawan delapan. KS Tubun pun tertembak dan meninggal di tempat. Perlu digarisbawahi bahwa KS Tubun tidak termasuk dalam jajaran perwira yang dibuang di Lubang Buaya. Namun ia termasuk ke dalam salah satu Pahlawan Revolusi Indonesia.
9. Brigadir Jenderal TNI Anumerta Katamso Darmokusumo
Brigjen Katamso Darmokusumo Lahir 5 Februari 1923, Sragen, Jawa Tengah. Waktu itu beliau sedang bertugas di Yogyakarta saat berita hilangnya para perwira di Jakarta menyebar ke kalangan TNI. Ia dan para prajuritnya kebingungan karena tidak tahu pasti apa yang sebenarnya telah terjadi. Pada 1 Oktober 1965, ia masih harus menghadiri rapat di Magelang dalam keadaan yang kalut. Ia tak tahu bahwa tepat setelah ia pergi, orang-orang militer di Yogyakarta yang berkubu dengan PKI mengambil alih markas. Setelah rapat, Katamso kembali ke rumah dinasnya di Yogyakarta untuk mengadakan rapat bersama beberapa anak buahnya yang juga berkhianat. Tiba-tiba datanglah mobil dan truk besar berisi pasukan bersenjata. Di saat yang sama, anak buah Katamso yang berkhianat sudah mempersiapkan kuburan untuknya. Orang-orang itu seketika menodongkan senjata ke arah Katamso dan memaksanya ikut dengan mereka. Para pengkhianat itu kemudian dibawa dalam kondisi terikat dan mata tertutup. Kepalanya dipukul dua kali dengan logam hingga ia meninggal dunia.
10. Kolonel Inf. Anumerta R. Sugiono Mangunwiyoto
Pahlawan Revolusi terakhir adalah Kolonel Sugiono Mangunwiyoto Lahir 12 Agustus 1926, Gedaren, Jawa Tengah. Seperti Katamso, ia juga menjadi korban pengkhianatan militer Yogyakarta yang berkubu dengan PKI. Saat itu ia adalah kepala Korem 072 Yogyakarta yang didatangi oleh Brigjen Katamso. Ada dua versi kisah pembunuhan Sugiono. Pertama, ia disebut sedang berada di rumah dinas Katamso ketika penyergapan dimulai. Seakan setali dua uang, pasukan PKI dan pengkhianat membawa keduanya ke Batalyon Kentungan untuk disiksa dan dibunuh. Versi lain mengatakan bahwa kedua perwira itu berada di tempat yang berbeda. Sugiono yang hendak bertemu dengan Katamso ditangkap di markas Korem Yogyakarta. Sugiono bersama dengan Katamso sempat disiksa dengan kejam sebelum akhirnya dibunuh pada 2 Oktober 1965. Jasad keduanya baru ditemukan 19 hari setelahnya, yaitu 21 Oktober 1965. Dua perwira itu kemudian menjadi Pahlawan Revolusi yang berasal dari Yogyakarta.
Itulah kisah pilu dari 10 Pahlawan Revolusi Indonesia. Setelah bersusah payah melawan penjajah, ternyata hidup mereka berakhir di tangan "saudaranya" sendiri. Semoga para pahlawan hidup dalam kedamaian di Surga-NYA dan Jasa-jasa kesepuluh tokoh ini harus selalu dikenang dan diabadikan dalam sejarah Bangsa Indonesia.
0 Comments